Skip to main content

Apakah Saham Perusahaan yang PER nya lebih tinggi lebih MAHAL?

Catatan ini merupakan kelanjutan dari catatan saya sebelumnya yang khusus berkaitan dengan sejumlah pengertian elementer dalam berinvestasi Mengenal Market Cap dan Enterprise Value.


Namun sebelum kita melanjutkan, ada baiknya kita ulangi apa yang sudah dibahas dan disimpulkan pada catatan itu :

1. Harga saham tidak dengan sendirinya bisa menunjukan apakah sebuah perusahaan lebih mahal atau lebih murah dibanding perusahaan lainnya. Perusahaan dengan harga saham Rp 500, belum tentu lebih murah dibanding perusahaan yang harganya Rp 2,000. Gudang Garam dengan harga saham Rp 76,000 tidak dengan sendirinya menjadikan GGRM sebagai perusahaan lebih mahal dibandingkan HM Sampoerna yang diperdagangkan di bursa dengan harga saham Rp 4,000. Ada variable lainnya yang harus diperhitungkan, yaitu jumlah lembaran sahamnya.

2. Market Cap merupakan harga pasar (Market Value) yang harus dibayarkan jika Anda berniat membeli perusahaan 100%. Nilai itu tidak lain dari jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga saham yang berlaku. Memakai contoh di atas, Market Cap $GGRM tercatat sebesar Rp 146 Trilyun. Sementara itu, $HMSP meskipun harga sahamnya di bawah GGRM, memiliki Market Cap yang lebih tinggi dari GGRM, yaitu Rp 460 Trilyun.

3. Market Cap sebuah perusahaan tidak dengan sendirinya dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai mahal atau murah-nya perusahaan itu, dengan cara membandingkannya atas Market Cap perusahaan lainnya. $BJTM yang Market Cap-nya tercatat sebesar Rp 10.5 Trilyun tidak dengan sendirinya dapat disebut lebih mahal dibandingkan $AGRO, yang Market Cap-nya lebih kecil (Rp 8.8 Trilyun). Ada variable lain yang harus dimasukan sehingga dapat memberi perbandingan yang lebih tepat, yaitu dengan memasukan komponen laba.

4. Dengan Market Cap AGRO Rp 8.8 Trilyun, serta labanya sekitar Rp 123 Milyar (TTM), maka AGRO diperdagangkan dengan PER sebesar 71 X. BJTM yang memiliki Market Cap lebih tinggi dari AGRO, yaitu sebesar Rp 10.5 Trilyun, menghasilkan laba (TTM) sebesar Rp 1.2 Trilyun. Dengan demikian, maka BJTM sekarang ini diperdagangkan dengan PER 8.75 X. Oleh karena itu, meski Market Cap BJTM lebih tinggi dibanding Market Cap-nya AGRO, BJTM sebagai perusahaan lebih murah dibandingkan AGRO.


Mudah-mudahan dengan mengulang lagi apa yang sudah dijelaskan di Bagian I soal Market Cap dan EV ini, pemahaman Anda dapat lebih jelas. Dengan demikian, kita dapat menjawab pertanyaan yang ditulis dalam alinea penutup dari catatan sebelumnya. Saya kutip kembali alinea terakhirnya di bawah ini :

Melalui pemahaman di atas, dan Anda tahu bahwa angka PER ini bisa dijadikan referensi dalam menilai murah-mahalnya perusahaan, mari kita naikan sedikit pemahaman kita.

Apabila demikian halnya, jika ada dua perusahaan yang memiliki PER yang sama, katakanlah 10 X, berarti kedua perusahaan itu tidak ada bedanya dong, begitu mungkin pertanyaan Anda selanjutnya. Sama-sama murahnya, atau sama-sama mahalnya. Demikian pula, apabila ada satu perusahaan (A) memiliki PER 20 X, sementara satunya lagi, perusahaan (B) PER-nya 10 X, dan kedua-duanya bergerak di bidang industri yang sama, maka kita bisa mengatakan bahwa A lebih mahal dibandingkan B. Kesimpulan logis seperti ini boleh jadi merupakan kesimpulan Anda juga.

Apakah kesimpulan seperti itu benar? Mari kita lihat, dan untuk bisa membantunya, kita akan memakai sejumlah contoh angka. Dalam hal ini, kita akan memasukan komponen EBIT (Earning Before Interest and Taxes). Angka EBIT dipakai, untuk menunjukan kondisi identik dari kedua perusahaan. Dimana kedua-duanya mampu menghasilkan EBIT yang sama (Nilai penjualan yang sama mendapatkan EBIT yang sama).



Perhatikan baik-baik angka-angka di atas, dimana kedua perusahaan memiliki kemampuan yang sama dalam menghasilkan nilai penjualan maupun mencapai EBIT-nya.

Kembali ke pertanyaan di atas, apabila kita menggunakan pedoman PER, dan pasar memberikan Market Cap sebesar 600,000 kepada A, yang memiliki laba bersih 60,000, maka kita tahu bahwa A memiliki PER sebesar 10X. Untuk B, dengan Market Cap sebesar 100,000 dan laba bersih 30,000, maka kita tahu bahwa PER perusahaan B adalah 3.3 X. Apakah ini berarti A (dengan PER 10 X) lebih mahal dibanding dengan B yang PER-nya hanya 3.3 X?

Sekali lagi, dengan menggunakan pedoman PER, tentu saja kita akan langsung membenarkan jawaban itu. Kita akan menegaskan bahwa A dengan PER 10 X lebih memang lebih mahal dibandingkan harga B, karena B bisa dibeli dengan PER yang lebih kecil, yaitu 3.3X.

Namun, justru karena alasan ini juga saya lebih menyukai pemakaian Enterprise Value dibandingkan dengan Market Cap dan Price Earning Ratio/PER. Mengapa? Karena perhitungan Market Cap mengabaikan komponen hutang (dan kas) di dalam Neraca Perusahaan.

Mari kita ambil contoh jika kita mau membeli rumah. Pemilik rumah mengatakan, kita boleh mendapatkan rumahnya dengan membayar Rp 1 Milyar. Dia juga memberitahu, bahwa masih terdapat pinjaman Rp 500 Juta yang melekat pada rumah itu. Jika rumah dibeli, maka pinjaman beralih kepada pembeli. Kita tentu sepakat, bahwa untuk si pembeli, harga rumah itu adalah Rp 1.5 Milyar, bukan Rp 1 Milyar.
Komponen hutang dan kas inilah yang tidak diperhitungkan apabila kita menggunakan pedoman Market Cap dan PER pada saat menilai harga sebuah perusahaan. Padahal sama dengan contoh rumah tadi, pada saat kita mengambil-alih sebuah perusahaan, maka hutang dari perusahaan itu menjadi beban pembeli. Sebaliknya uang yang berada dalam saldo Bank akan menjadi hak si pembeli.

Inilah inti dari Enterprise Value. Enterprise Value didapatkan dengan menambahkan hutang dan mengurangkan saldo kas terhadap Market Cap sebuah perusahaan. Itulah sebabnya saya sangat senang apabila menemukan emiten yang memiliki saldo kas, dan tidak mempunyai hutang (kalaupun memiliki hutang, nilainya lebih kecil dibandingkan saldo kas-nya). Jika kita menemukan perusahaan seperti ini, artinya harga yang kita bayarkan untuk membeli perusahaan itu sebenarnya lebih rendah dari Market Cap-nya. Dengan penyesuaian seperti ini, maka saya menemukan perusahaan seperti $ADMG, $WIIM, $RANC, $ULTJ, $INCI, $TSPC dan semacamnya (DYOR), yang mungkin tidak akan terjaring apabila saya menggunakan formula PER atau kriteria stock-screener-nya tidak dilakukan penyesuaian.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita kembali ke contoh perusahaan A dan B di atas. Apabila kita memakai formula PER, maka dengan cepat kita akan mengatakan bahwa B, yang PER-nya 3.3 X sudah pasti harganya lebih murah dibandingkan dengan A, yang PER-nya 10 X.

Dalam realita bisnis, hal itu terbukti tidak benar. Jika kita mengambil-alih perusahaan A dengan membayar 600,000 (Market Cap-nya), kita memiliki perusahaan dengan EBIT 100,000. Karena perusahaan tidak ada hutang (dan kas), maka nilai EV sama dengan Market Cap-nya. Sebaliknya, apabila kita mengambil-alih perusahaan B dengan harga 100,000 (Market Cap-nya), maka kita juga akan memiliki perusahaan dengan EBIT 100,000. Namun, oleh karena perusahaan B ini memiliki hutang sebesar 500,000, maka harga yang sebenarnya kita bayarkan, yaitu EV, adalah 600,000 juga. Itulah harga real yang sebenarnya kita tanggung untuk mendapatkan perusahaan yang EBIT-nya 600,000, karena sekarang kita harus menanggung hutang yang 500,000 itu.

Dari gambaran di atas, maka jelas bahwa dengan memakai formula EV, atau Enterprise Value, baik perusahaan A maupun perusahaan B, memiliki harga yang sama, yaitu 600,000. Oleh karena EBIT kedua perusahaan ini sama, 100,000, maka pilihan itu buat kita sama saja. Tidak ada yang lebih murah atau lebih mahal.

Sebaliknya, jika kita menggunakan PER, akan tampak kesan bahwa perusahaan B, dengan PER-nya hanya 3.3 X, menunjukan harga yang lebih murah dibandingkan dengan perusahaan A, yang PER-nya 10X. In reality, that is not the case. Itulah sebabnya, sekali lagi, saya lebih menyukai pendekatan EV, karena EV mencerminkan realiatas bisnis saat kita mengambil-alih perusahaan sebagai sebuah bisnis.

Dengan menggunakan formula EV, angka EBIT yang dipakai sebagai earning (hasil) untuk dibandingkan dengan EV-nya (nilai investasi). Dalam contoh A dan B di atas, masing-masing menghasilkan return atau yield yang sama (100,000 dibagi 600,000). Sementara apabila kita menggunakan formula PER, maka angka laba (EPS) yang dipakai sebagai earning (hasil) untuk dibandingkan dengan Market Cap-nya (harga saham).

Mudah-mudahan hal ini bisa memberikan penjelasan untuk mereka yang masih menanyakan soal EV dan Market Cap ini
RELATED ARTIKEL

Comments

Popular posts from this blog

Urutan Tata Cara Odalan di Sanggah

Cara Membuat Banten Peras

Cara mengaktifkan voice input Xiaomi redmi note 3.